Download this template Click here Download
Postingan

Pengertian Tawakal yang Sering Sebagian Orang Salah Paham

Tidak Lengkap Iman Seseorang tanpa Tawakkal kepada Alloh SWT
Tidak Lengkap Iman Seseorang tanpa Tawakkal kepada Alloh SWT
Tidak Lengkap Iman Seseorang tanpa Tawakkal kepada Alloh SWT

Banyak orang yang mengaku beriman tapi tidak bertawakal kepada Alloh SWT, padahal jelas tidaklah lengkap iman seseorang tanpa tawakal.

Pengertian Tawakkal

Tawakal berasal dari kata Arab wakalah atau wikalah. Keduanya mengandung makna memperlihatkan ketidakmampuan dan bersandar atau pasrah kepada orang lain.

Kata kerja asalnya adalah wakala yang kemudian lebih lazim memakai wazan tawakala tawakkulan yang berarti menyerahkan, menyandarkan, mewakilkan, dan mempercayakan urusannya kepada Alloh SWT.

Dalam ajaran Islam, tawakal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan selain Allah dan menyerahkan keputusan atas segala sesuatunya hanya kepada Allah SWT. Hal ini pula yang membuat tawakal disebut sebagai perbuatan menyerahkan segala perkara, ikhtiar, dan usaha kita kepada Allah SWT, dan apabila kita bertawakal Alloh SWT akan mencukupi keperluan kita.

Sebagaimana termaktub dalam QS. At Thalaq ayat 3 yang berbunyi:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. At Tholaq: 3).

Ulama Imam Al Ghozali mendefinisikan tawakal sebagai penyandaran diri kepada Allah SWT sebagai satu-satunya al-wakiil (tempat bersandar) dalam menghadapi setiap kepentingan, bersandar kepada-nya saat menghadapi kesukaran, teguh hati ketika ditimpa bencana, dengan jiwa yang tenang dan hati yang tentram.

Implikasi langsung dari keimanan seseorang dapat terlihat dari tawakal. Sebab iman tidak hanya percaya akan keberadaan Alloh SWT, namun lebih kepada menaruh kepercayaan kepada-Nya dan menafikan segala sesuatu selain-Nya.

Alloh berfirman dalam QS. Ibrohim ayat 12:

وَمَا لَنَا أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا ۚ وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَىٰ مَا آذَيْتُمُونَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Alloh, sedangkan Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh, akan tetap bersabar terhadap gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang yang bertawakal berserah diri. (QS. Ibrohim: 12)

Namun, yang perlu ditekankan dalam konsep tawakal adalah tawakal bukan berarti pasrah. Bukan pula meninggalkan usaha hanya karena bergantung kepada Alloh SWT. Sebab itulah dalam tawakal kepada Alloh terbagi dalam dua fase, di antaranya:

  1. Fase pertama adalah fase usaha atau kerja. Dalam fase ini, kita harus mengikuti mekanisme alam (sunatullah);
  2. Fase kedua adalah fase ketika kita menunggu hasil. Di sinilah kita mulao berpasrah kepada Allah dengan sepenuh hati, serta meyakini bahwa apapun hasil dari upaya kita, itu semua tidak terlepas dari taufik dan kehendak Alloh SWT.

Oleh karena itu, antara tawakal dan ikhtiar (usaha) tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Konsep tawakal yang sesungguhnya yaitu, untuk mencapai tawakal harus didahului dengan ikhtiar sebab tidak ada tawakal tanpa dibarengi ikhtiar dan ikhtiar tidak sempurna tanpa ada tawakal.

Rosululloh SAW pernah menyerupakan orang yang tawakal sebagai burung yang hendak mencari rezeki. Dari Umar bin Khottob, Rosululloh bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Alloh, sungguh Alloh akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang. (HR. Ahmad).

Ahli hadits Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid, seraya berkata, "Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rezekiku datang sendiri."

Maka Imam Ahmad berkata:

"Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rezekiku melalui panahku." Dan beliau bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah memberimu rezeki sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung yang berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."

Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rezeki. Inilah bukti bahwa setiap tawakal tidak bisa terlepas dari ikhtiar (usaha) manusia.

Demikian pula dengan urusan dunia dan ahirat kitapun diperintahkan bertawakal, serahkan semuanya kepada Alloh SWT, jangan terlalu risau akan siksa kubur atau neraka yg penting kita bertaqwa kepada Alloh SWT, tidak melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, menjalankan ibadah sesuai perintah Alloh SWT dan Rosul-Nya. Setelah itu pasrahkan segala urusan Kepada Alloh SWT.

Kesalahpahaman Memaknai Tawakal

Tawakal secara bahasa berarti pasrah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut tawakal dengan “Pasrah diri kepada kehendak Alloh SWT; percaya dengan sepenuh hati kepada Alloh SWT.” Sedangkan sebagian masyarakat memahami tawakal sebagai menyerah pada keadaan dan kenyataan tanpa sebab / upaya / ikhtiar / syariat.

Pemahaman sebagian orang tersebut perlu ditanggapi. Pada kesempatan ini penulis akan membahas pengertian tawakal dengan mengutip keterangan dari Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah sebagai berikut:

واعلم أن التوكل محله القلب، والحركة بالظاهر لا تنافي التوكل بالقلب، بعد ما تحقق العبد أن التقدير من قبل الله تعالى؛ فإن تعسر شيء فبتقديره، وإن اتفق شيء فبتيسيره

Ketahuilah, tawakal bertempat di hati. Sedangkan gerakan fisik lahiriah tidak menafikan kerja tawakal di hati setelah keyakinan seorang hamba mantap di hati bahwa takdir berasal dari Alloh SWT. Jika suatu kenyataan itu tampak sulit, maka berlaku takdir-Nya. Tetapi jika suatu kenyataan sesuai dengan keinginannya, maka itu terjadi berkat kemudahan yang diberikan Allah. (Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 92).

Dari sini kita mendapatkan penjelasan bahwa tawakal di satu sisi adalah sikap batin yang tenang karena menyerahkan urusan kepada Alloh. Sedangkan sebab / upaya / ikhtiar / syariat adalah aktivitas lahiriah fisik untuk menuju keinginan yang diidealkan di sisi lain.

Dengan demikian, keduanya (tawakal dan sebab / upaya / ikhtiar / syariat) tidak dipertentangkan, dihadap-hadapkan, dan dipilih salah satunya karena diasumsikan tidak dapat berjalan seiring. Terkait pembahasan tawakal, Imam Al-Qusyairi mengutip hadits berikut ini:

عن أنس بن مالك قال جاء رجل على ناقة له، يا رسول الله، أدَعها وأتوكل؟ فقال اعقلْها وتوكَّلْ

Dari Anas bin Malik RA, ia bercerita bahwa suatu hari seseorang dengan mengendarai unta miliknya mendatangi Rosululloh. Ia bilang, ‘Wahai Rosululloh, aku melepasnya dan aku bertawakal.’ Rosululloh menjawab, ‘Ikatlah untamu. Tawakalloh,’ (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 92).

Syekh Abu Zakariya Al-Anshari menambahkan dalam catatan atas hadits tersebut bahwa tawakal dan sebab / upaya / ikhtiar / syariat bukan bersifat opsional yang harus dipilih salah satunya karena keduanya tidak saling menafikan.

فيه دلالة على أن السبب لكونه فعل الجارحة لا ينافى التوكل لكونه فعل القلب بل قد يجب السبب

Hadits ini menjadi dalil bahwa sebab / ikhtiar / upaya / syariat sebagai aktivitas lahiriah fisik tidak menafikan tawakal sebagai aktivitas batin. Bahkan sering kali sebab / ikhtiar / upaya merupakan kewajiban syar’i, (Abu Zakariya Al-Anshari, Muntakhabat min Syarhir Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 92).

Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan, bahwa tawakal di satu sisi dan sebab / ikhtiar / upaya / syariat di sisi lain tidak saling menegasikan. Keduanya bekerja pada domainnya masing-masing.

Misalnya dalam konteks pandemi Covid-19, orang yang menaati prokes dan mengikuti program vaksin misalnya bukan berarti tidak bertawakal kepada Allah. Orang menaati prokes dan mengikuti program vaksin sebagai bentuk preventif sudah benar dalam menjalankan kewajiban sebab / ikhtiar / upaya / syariat sebagaimana diterangkan Al-Anshari.

Ketaatan seseorang pada prokes dan vaksin tidak mengurangi kadar tawakalnya kepada Allah karena keduanya bergerak pada domain masing-masing, dalam batin pada satu sisi dan lahiriah fisik pada sisi lain. Wallohu a’lam.

Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Pengertian Tawakal yang Sering Sebagian Orang Salah Paham, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.

Getting Info...

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.